WahanaNews.id | Amandemen UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) hingga kini masih menjadi perdebatan.
Wacana Amandemen UUD 1945 dikhawatirkan malah akan membuka kotak pandora, salah satu perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca Juga:
Terima Ketum dan Pengurus PWI Pusat, Ketua MPR Dorong Peningkatan Kompetensi dan Profesionalitas Wartawan
Ketua MPR, Bambang Soesatyo alias Bamsoet, menegaskan, PPHN tidak dimaksudkan untuk memperlemah konsensus dalam penguatan sistem presidensial.
Ia menyebut, PPHN akan tetap disesuaikan dengan ciri khas sistem presidensial.
"Yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan yang tetap 2 periode," kata Bamsoet, dalam Forum Group Discussion MPR di Kompleks Parlemen, Senin (11/10/2021).
Baca Juga:
Doa Presiden Soekarno untuk Luhut Binsar Pandjaitan Kini Terbukti
Bamsoet tidak ingin ada pemimpin yang harus diberhentikan di tengah jalan seperti pada masa BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sebagaimana diketahui, Habibie lengser karena MPR menolak laporan pertanggungjawabannya pada Sidang Umum 1999.
Sementara Gus Dur lengser karena mendapatkan mosi tidak percaya dari MPR.
"Kejatuhan atau pergantian pemimpin nasional yang belum waktunya. Gus Dur maupun Habibie ini adalah kecelakaan sejarah. Karena MPR tidak pada posisi memberhentikan dan keberadaan PPHN yang berdasarkan kajian 2 kepemimpinan MPR sebelumnya [merupakan] sebuah langkah untuk menentukan masa depan bangsa ke depan," jelasnya.
Menurutnya, pandemi Covid-19 menjadi momentum penting bagi bangsa untuk merenung apakah UUD 1945 hasil amandemen keempat sudah memberikan hasil yang baik.
Apakah telah mensejahterakan bangsa, apakah perjalanan Indonesia sudah pada rel sesuai semangat pendiri bangsa, atau malah ada titik-titik yang menyimpang.
"Ini justru waktunya kita melakukan evaluasi. Tapi apa pun ujungnya sangat bergantung pada kekuatan politik di tanah air kita," tuturnya.
Bamsoet menegaskan, PPHN akan merumuskan perjalanan Indonesia dalam puluhan tahun selanjutnya.
Apalagi menyambut 100 tahun Indonesia pada 2045, masyarakat sudah harus mempunyai gambaran seperti apa Indonesia yang ingin ditampilkan ketika masa itu sampai.
"Saya sadari pro kontra timbul karena ada kecurigaan dan pendekatan politik praktis, di mana ada dugaan tudingan MPR memiliki agenda-agenda terselubung, misalnya memperpanjang masa jabatan yang sama sekali kami belum pernah membahasnya dan kami enggak ingin ada penumpang gelap," pungkasnya. [nik]