WahanaNews.id | Ketika daya ingat masih amat kuat, maka usia pun akhirnya hanyalah sebuah angka.
Begitulah sosok Kapten CPM (Purn) Sanjoto, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Baca Juga:
Pemprov Kepri Salurkan Bantuan Rp1,2 Miliar untuk 433 Veteran LVRI
Kendati usianya sudah menginjak 90 tahun, namun ingatan Kapten Sanjoto belumlah pudar saat menceritakan pengalaman dirinya terlibat langsung memburu pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit, yang dianggap paling bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI.
Sanjoto mengungkapkan detik-detik penggerebekan terhadap DN Aidit dan gerombolannya saat singgah di Kota Semarang, seminggu setelah peristiwa G30S/PKI di tahun 1965.
"Sebuah rumah di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, Semarang, diketahui menjadi tempat singgah DN Aidit dan gerombolannya," ungkap Sanjoto, mengawali ceritanya kepada wartawan.
Baca Juga:
HUT RI 78, Bupati Mamuju Ajak Generasi Muda Berkiprah Positif
Sanjoto, yang saat itu masih berpangkat Peltu, menuturkan, satu minggu setelah peristiwa G30S/PKI, dirinya mendapat pemberitahuan dari Pusat dan Panglima bahwa yang mengendalikan peristiwa berdarah tersebut adalah PKI.
"Atas perintah Panglima (Kodam IV/Diponegoro saat itu) sama komandan saya (Kolonel Sumaedi), regu saya dan pimpinan saya diperintahkan mampir ke Kodim Semarang. Namun, saat itu, Komandan Kodim yang baru tak ada. Yang ada kepala stafnya, namanya Mayor Riyadi," ungkapnya.
"Loh, ada apa Pak, saya itu diperintahkan sama komandan saya, mencari rumah di Peterongan yang digunakan transit DN Aidit cs dari Jakarta. Wah, kebetulan itu depan rumah saya, banyak kendaraan. Saya lari ke sini sama Pak Wiradi (almarhum), di situ bendera-bendera PKI itu banyak. Dari sejumlah tetangga bilang, kalau 2 jam lalu sudah berangkat (melarikan diri). Waduh, ketinggalan!" beber Sanjoto, yang saat itu bertugas sebagai anggota Intel Pomdam.
Ketika DN Aidit singgah di rumah Jalan Belimbing itu, Sanjoto mengaku telah mempersenjatai diri, menjaga segala kemungkinan jika ada perlawanan dari komplotan PKI.
"Waktu Aidit transit, saya dengan senjata lengkap, bawa 2 senjata, salah satunya pistol. Saat perburuan waktu itu, saya bersama dengan 2 anggota Kodim dan 3 anggota CPM," sebutnya. Seperti dilansir dari WahanaNews, Minggu, 17/10/21.
Ia menambahkan, ketika itu dirinya secara kebetulan telah membaca keadaan di dalam ruangan.
Ternyata, rombongan DNA (DN Aidit) pergi ke arah timur (Solo).
"Lantas, saya telepon sama komandan, saya laporan bahwa 2 jam yang lalu sudah tak ada, lari ke timur. Di Solo, komandan saya telepon Dandenpom Solo, dijawab sudah diberondong (tertangkap di Solo)," tutur kakek yang lahir pada 17 November 1930 ini.
Kini, rumah yang sempat menjadi persinggahan gembong PKI itu ditempati Sanjoto bersama istri dan keluarganya.
Menurut pengakuannya, Sanjoto menempati rumah di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, itu sejak tahun 1969.
Namun demikian, saat itu rumah dalam kondisi kosong dan sempat disita negara.
Seiring berjalannya waktu, rumah tersebut kembali bisa ditempati Sanjoto, setelah pemerintah mengetahui jika dirinya merupakan pejuang veteran kemerdekaan RI.
Untuk diketahui, Kapten Sanjoto juga pernah terlibat dalam Dwikora, mengawal Jenderal Ahmad Yani di Singkawang, Kalimantan Barat.
Dia adalah prajurit Corps Polisi Militer (CPM) yang ikut serta mengamankan dan mengawal Jenderal Ahmad Yani serta sejumlah perwira tinggi lainnya dalam persiapan konfrontasi dengan Malaysia.
Sanjoto juga berkisah bahwa ia sudah ikut berperang di usia 12 tahun. Ia bergabung dengan organisasi kepemudaan atau Angkatan Muda Surakarta.
"Saat itu, saya ikut mengusir penjajah Jepang. Pokoknya ikut saja, dan tidak pernah takut mati, terutama saat mendapatkan senjata bekas Kempetai atau Polisi Militer Jepang. Saya membawa senjata Arisaka dan pistol Nambu buatan Jepang. Ke mana-mana, bersama pemuda lainnya, saya bawa senjata itu," beber dia.
Barulah, setelah merdeka, Sanjoto masuk dalam barisan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Dia mendapat pangkat Letnan Muda, meski tak pernah menyandang pangkatnya di pundak maupun lengan bajunya.
Bertugas sebagai pasukan pengawal, Sanjoto pernah mendapatkan perintah mengawal dan menyeberangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat bergerilya di wilayah Wonogiri hingga masuk Jawa Timur.
Gerilya dengan keluar-masuk hutan dilakukan bertahun-tahun saat pendudukan Belanda.
Dia memimpin pasukan, hingga pernah melakukan peledakan bom di jalan yang dilintasi konvoi panser Belanda.
Sanjoto kemudian masuk dalam barisan Corps Polisi Militer dengan pangkat Sersan Satu.
"Berulang kali saya melakukan pengawalan, sampai pada Jenderal Ahmad Yani. Saat membentuk Batalyon Banteng Raiders di Bulakamba, Tegal, pun saya ikut terlibat pengawalan. Sampai kedatangan Bung Karno, saya juga yang mengawalnya," ceritanya.
Sementara itu, terkait kondisi rumah saat itu, ungkap Sanjoto, memang rusak parah.
Di dinding terdapat peta yang ditujukan bagi pengikut petinggi PKI, DN Aidit, untuk kabur.
"Setelah itu, saya kan tinggal di hotel. Karena saya perwira, jadi tinggal di hotel. Komandan saya kemudian memberikan rumah itu kepada saya. Rumahnya rusak parah, kemudian saya perbaiki dan tempati sejak tahun 1969," ujarnya.
Namun, bangunan rumah bertembok itu, bertahun-tahun sejak ditempati masih tampak sering bocor saat hujan datang. Beberapa bagian atap juga sudah ambrol dan temboknya retak.
Kini, rumah yang ia tempati itu mulai dilakukan renovasi.
Saat wartawan mengunjungi lokasi rumah itu di Jalan Belimbing Raya Nomor 34, Peterongan, Senin (28/9/2020), tampak aktivitas sejumlah pekerja melakukan pembongkaran di beberapa bagian bangunan yang memang sudah tak layak.
Ya, pembongkaran ternyata baru dilakukan sejak Senin (21/9/2020) oleh pihak REI Komisariat Semarang & Solo, bersama Denpom IV/5 Semarang.
Targetnya, selesai pada 10 November 2020, bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan.
Sebelum direnovasi, Sanjoto sempat dikunjungi Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, saat gowes ke daerah Peterongan, Semarang Selatan.
Saat bertandang ke rumah mantan pengawal dan pengaman rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman di Wonogiri tahun 1948 itu, Ganjar merasa prihatin menyaksikan rumah Sanjoto yang sudah tak layak huni.
Ganjar, yang datang bersama Dandenpom IV/5 Semarang, Mayor CPM Okto Femula, mengutarakan ingin merehab rumah yang rusak parah itu.
Gubernur pun menunjuk Dandenpom IV/5 Semarang untuk mengatur proses rehab atau bedah rumah, dan akhirnya menggandeng REI Komisariat Semarang & Solo untuk menangani.
"Kami langsung bertindak cepat dengan menggandeng REI Semarang & Solo. Kebetulan mereka adalah mitra kami yang selalu memberi support untuk rehab rumah veteran maupun asrama prajurit. Dibantu dengan CSR merekalah kita akan bisa mewujudkan harapan Pak Sanjoto tinggal di rumah yang layak," ucap Mayor CPM Octo Femula, kala itu. [jef]