WahanaNews.id | Setiap tanggal 5 Oktober, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memperingati hari ulang tahunnya.
Tahun ini, TNI tepat berusia 76 tahun.
Baca Juga:
RSCM Jakarta Catat Seejarah, Sukses Operasi Pasien Pakai Teknologi Robotik
Keberadaan TNI tidak bisa terlepas dari keberadaan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang resmi dibentuk pada 5 Oktober 1945.
Namun, sebelum TKR dibentuk, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk terlebih dulu.
Dilansir dari buku Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional (2002) karya F Sugeng Istanto, BKR dibentuk pada 22 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan diumumkan secara resmi oleh Soekarno pada 23 Agustus 1945.
Baca Juga:
Hadiri Acara Panen Hasil Belajar di SMA Santa Maria Kabanjahe: Bupati Karo Ciptakan Sejarah Baru dan Dorong Kewirausahaan
Pembentukan BKR bersamaan dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Keputusan untuk membentuk badan keamanan, alih-alih tentara kebangsaan didasarkan pada pertimbangan bahwa pembentukan tentara akan menimbulkan reaksi dari pasukan Jepang dan sekutu yang akan mendarat.
BKR sendiri merupakan bagia dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP).
BPP diketahui sudah berdiri sejak zaman Jepang dan bertugas untuk memelihara tentara PETA dan Heiho.
Terpilih sebagai ketua BKR Pusat yaitu Mr Kasman Singodimedjo, mantan daidanco Jakarta.
Posisi Kasman kemudian digantikan oleh Kaprawi, mantan daidanco Sukabumi, lantaran terpilih sebagai Ketua KNIP.
Selain Kaprawi yang terpilih sebagai ketua umum BKR, ada Sutalaksana sebagai Ketua I dan Latief Hendraningrat sebagai Ketua II yang dibantu oleh Arifin Abdurrahman, Mahmud dan Zulkifli Lubis.
Sementara, pimpinan BKR daerah pada saat itu adalah Mufreini (Jakarta), Moestopo (Jawa Timur), Arudji Kartawinata (Jawa Barat), dan Soedirman (Jawa Tengah).
Belakangan, sosok Soedirman menjadi sosok penting di dalam kehidupan TNI.
Bahkan, ia didapuk sebagai jenderal sekaligus panglima TNI pertama yang begitu dihormati di Indonesia.
Lahir dari Keluarga Biasa dan Sempat Jadi Guru
Soedirman atau Raden Soedirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916.
Orangtua Soedirman merupakan rakyat biasa.
Ayahnya, Karsid Kartawiraji, merupakan seorang pekerja pabrik gula di Kalibagor, Banyumas.
Sementara sang ibu yang bernama Siyem merupakan keturunan Wedana Rembang.
Demi kehidupan yang lebih baik, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi, Raden Cokrosunaryo.
Sang paman merupakan seorang camat di Rembang, Purbalingga.
Di usianya yang masih 7 tahun, Soedirman sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Setahun kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Taman Siswa dan berpindah lagi ke Sekolah Wirotomo.
Dilansir dari laman resmi Perpustakaan Nasional, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa yang rajin.
Ia juga dikenal taat beribadah.
Soedirman sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah.
Kemampuan Soedirman dalam memimpin dan berorganisasi nampak ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah.
Belum selesai menempuh pendidikan, paman Soedirman meninggal dunia.
Sempat mengalami masalah ekonomi karena kekurangan biaya, Soedirman tetap diperbolehkan sekolah di Wirotomo tanpa membayar.
Soedirman lantas melanjutkan studinya di Kweekschool atau sekolah khusus untuk calon guru.
Kendati demikian, pendidikan itu tak ia selesaikan karena masalah biaya.
Namun begitu, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, bahkan kemudian menjadi kepala sekolah di sekolah dasar Muhammadiyah.
Soedirman juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937.
Sempat Gabung PETA Sebelum Jadi Panglima
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Soedirman tetap mengajar.
Namun, pada masa awal penjajahan Jepang, aktivitas mengajar Soedirman dibatasi.
Sekolah tempatnya mengajar bahkan dijadikan pos militer Jepang.
Meski begitu, Soedirman berhasil benegosiasi dengan pemerintah Jepang agar tetap bisa mengajar anak-anak pribumi walaupun dengan perlengkapan terbatas.
Karena keterlibatan yang aktif itu Soedirman akhirnya diangkat sebagai ketua Dewan Karesidenan bentukan Jepang pada tahun 1944.
Pada tahun yang sama ia juga bergabung dengan prajurit PETA dan menempuh pendidikan militer.
Soedirman juga sempat menjabat sebagai Komandan PETA.
Jelang masa kemerdekaan atau tepatnya ketika peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki di Jepang awal Agustus 1945, Soedirman diperintahkan langsung oleh Soekarno untuk memimpin perlawanan terhadap Jepang di Jakarta.
Namun, Soedirman menolak hal tersebut karena mengaku belum terbiasa dengan lingkungan Jakarta.
Ia justru menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya.
Setelah BKR terbentuk, Soedirman pun turut menjadi bagian di dalamnya.
Sementara itu, pasukan yang dipimpinnya dijadikan sebagai bagian dari Divisi V oleh Oerip Soemohardjo, yang saat itu ditunjuk sebagai panglima sementara.
Karier Soedirman di militer semakin gemilang hingga dilakukannya pemilihan untuk menentukan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 12 November 1945.
Soedirman pun terpilih untuk menduduki jabatan tersebut.
Sementara, Oerip Soemohardjo menjadi kepala staf.
Sembari menunggu dirinya dilantik, Soedirman sempat mengerahkan serangan kepada pasukan Inggris dan Belanda yang melancarkan agresi militer di Ambarawa.
Keberanian Soedirman mengundang dukungan besar dari rakyat.
Peran pentingnya dalam mempertahankan kedaulatan RI mengantarkan Soedirman pada pangkat tertinggi di TNI.
Soedirman resmi dilantik sebagai Panglima TNI oleh Presiden Soekarno pada 28 Juni 1947 di Yogyakarta.
Saat itu usianya baru menginjak 31 tahun.
Jenderal Soedirman tutup usia pada 29 Januari 1950, meninggalkan semangat juang yang begitu besar. [nik]