WahanaNews.id | Jenderal besar atau jenderal bintang lima merupakan pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Pangkat ini diberikan kepada sosok yang dinilai berjasa sangat besar.
Baca Juga:
Komjen Ahmad Dofiri Jadi Wakapolri, Jenderal di Balik Pemecatan Ferdy Sambo
Di Indonesia, pangkat jenderal besar, laksamana besar, dan marsekal besar, bukanlah pangkat yang bisa diperoleh oleh sembarang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
"Pangkat Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia, Laksamana Besar Tentara Nasional Indonesia, dan Masekal Besar Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan kepada Perwira Tinggi yang sangat berjasa terhadap perkembangan bangsa dan negara pada umumnya dan Tentara Nasional Indonesia pada khususnya," demikian bunyi Pasal 7 ayat (2a) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1997.
PP tersebut juga menyatakan, pemberian pangkat jenderal besar, laksamana besar, dan marsekal besar diberikan oleh Presiden atas usul Panglima ABRI (sekarang TNI).
Baca Juga:
Termasuk Jenderal, Polri Siap Pindahkan 1.667 Personel ke IKN
Dalam bagian penjelasan PP disebutkan, perwira tinggi TNI yang telah sangat berjasa adalah sebagai berikut:
a. Perwira Tinggi terbaik yang tidak pernah mengenal berhenti dalam perjuangannya dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia;
b. Perwira Tinggi terbaik yang pernah memimpin perang besar dan berhasil dalam pelaksanaan tugasnya; atau
c. Perwira Tinggi terbaik yang telah meletakkan dasar-dasar perjuangan ABRI.
Sejak 1997, baru ada tiga orang yang menyandang pangkat jenderal bintang lima, yaitu Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, dan Jenderal Besar Soeharto.
Berikut profil ketiga jenderal besar itu, sebagaimana dihimpun dari berbagai sumber.
Soedirman
Jenderal Soedirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916.
Sejak kecil ia dididik untuk menjadi anak yang disiplin serta memiliki sopan santun Jawa yang tradisional.
Persentuhannya dengan dunia militer dimulai saat mengikuti latihan Pembela Tanah Air (PETA) angkatan kedua di Bogor.
Setelah itu, ia diangkat menjadi daidanco (komandan batalyon) berkedudukan di Kroya, Banyumas.
Sebagai komandan, Soedirman rupanya sangat dicintai oleh anak buahnya karena sangat memperhatikan kesejahteraan prajurit.
Ia tidak segan-segan untuk bersitegang dengan opsir-opsir Jepang.
Namun, karena itu ia justru dicurigai.
Jepang sempat berniat "menjebak" Soedirman dengan membawanya dan beberapa orang perwira PETA lainnya ke Bogor dengan dalih akan mendapat lanjutan pada Juli 1945.
Sebetulnya saat itu Jepang berniat untuk membuang Soedirman.
Niat itu tak terlaksana karena Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, Soedirman pun kembali ke Banyumas.
Setelah Indonesia merdeka, Soedirman terpilih menjadi ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Karasidenan Banyumas.
Tak lama kemudian ia diangkat sebagai Komandan Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah BKR meleburkan diri ke TKR.
Pada 12 November 1945, Soedirman pun dipilih sebagai pimpinan tertinggi TKR karena pemegang jabatan itu, Soeprijadi, tidak pernah muncul.
Bersamaan dengan itu, Soedirman menghadapi ancaman pihak sekutu di Magelang dan Ambarawa.
TKR berhasil memukul mundur melalui pertempuran di Ambarawa.
Pada 15 Desember 1945, Soedirman dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai panglima besar TKR dengan pangkat jenderal.
Soedirman kerap kali berbeda pendapat dengan pemerintah dalam menghadapi agresi militer Belanda.
Sebagai militer, ia ingin pertentangan diselesaikan melalui cara-cara militer, sedangkan pemerintah ingin menempuh jalan diplomasi.
Soedirman pun rela berperang dengan Belanda melalui gerilya meski saat itu ia menderita penyakit TBC (tubercolosis).
Paru-parunya hanya berfungsi 50 persen.
Pada Desember 1948, Soekarno sempat menasihati Soedirman agar kembali ke rumah karena sakit.
Namun, nasihat itu ditolak dan ia menegaskan akan terus bergerilya bersama para prajurit.
“Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan gerilya dengan sekuat tenaga seluruh prajurit," kata Soedirman saat itu.
Selama bergerilya, Soedirman harus ditandu dengan berpindah-pindah tempat dan keluar masuk hutan.
Ia tidak bisa memimpin secara langsung pasukannya saat bertempur, tetapi ia memimpin lewat pemikiran dan motivasi untuk anak buahnya.
Setelah hampir 7 bulan bergerilya, Soedirman menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Belanda.
Ia berencana merebut Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, dari tangan Belanda.
Serangan dilakukan pada 1 Maret 1949 pagi dan akhirnya pasukan Indonesia berhasil menguasai Yogyakarta dalam waktu 6 jam, peristiwa itu kelak dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret.
Serangan itu menjadi titik balik bagi Indonesia.
Belanda akhirnya menyepakati Perjanjian Roem-Royen.
Para pejabat pemerintah Indonesia yang dulu ditawan dikembalikan ke Yogyakarta.
Namun, Soedirman tidak mau buru-buru kembali ke Yogyakarta karena ia khawatir dengan kelicikan Belanda.
Soedirman akhirnya mau memasuki Yogyakarta setelah dijemput oleh Sri Sultan Hamengku Buwono.
Seiring waktu berjalan, penyakit TBC yang diderita Soedirman semakin parah dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit.
Pada 29 Januari 1950, ia meninggal di Magelang pada usia 34 tahun lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Soedirman ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964.
Ia juga dianugerahi pangkat kehormatan jenderal besar TNI pada 30 September 1997.
Abdul Haris Nasution
Abdul Haris Nasution lahir di Huta Pungkut, Tapanuli Selatan, pada 3 Desember 1918.
Pada masa mudanya, Nasution mengenyam pendidikan di Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK), sekolah guru menengah di Bandung.
Lalu ia bekerja sebagai guru di Bengkulu dan Palembang.
Namun, ia merasa tidak cocok dengan pekerjaannya itu dan mulai tertarik pada bidang militer dengan mengikuti pelatihan Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung pada 1940-1942.
Setelah Indonesia merdeka dan pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat, Nasution menjabat sebagai kepala staf komandemen TKR I/Jawa Barat dengan pangkat kolonel.
Setelah menduduki beberapa jabatan, Nasution diangkat sebagai kepala staf angkatan darat (KSAD) pada 10 Desember 1949.
Nasution sempat dinonaktifkan dari jabatannya imbas konflik antara Angkatan Darat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena DPR dianggap terlalu jauh mencampuri masalah internal Angkatan Darat.
Puncaknya, pada 17 Oktober 1952, Nasution bersama perwira militer dan puluhan ribu demonstran menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka.
Tank, meriam, dan persenjataan artileri bahkan dihadapkan ke Istana Merdeka.
Namun, ini bukan untuk melakukan perlawanan, tetapi mereka hanya meminta parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Meski begitu, Presiden Soekarno menilai tindakan ini merupakan makar karena menggunakan peralatan militer.
Pada 7 November 1955, Nasution kembali dilantik menjadi KSAD.
Ia sempat menduduki sejumlah jabatan sebelum menjadi orang nomor satu di militer saat ia diangkat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1962.
Selama berkiprah di militer, Nasution tercatat memiliki sejumlah penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Ia dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan Belanda saat ia memimpin pasukan Siliwangi pada masa Agresi Militer I Belanda.
Taktik gerilya disusun karena Nasution menyadari bahwa tentara Indonesia tidak akan mampu menghadapi Belanda dengan persenjataan dan strategi yang konvensional.
Gagasannya mengenai perang gerilya telah ia tuangkan dalam buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya yang dijadikan referensi di seluruh dunia.
Selain itu, Nasution yang merupakan Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1965 merupakan salah satu perwira TNI yang menjadi target penculikan dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Nasution memang berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang.
Namun, anak bungsunya, Ade Irma Suryani, terkena peluru yang ditembakkan pasukan Cakrabirawa hingga meninggal dunia.
Ajudan Nasution, Pierre Tendean, juga menjadi korban peristiwa G30S karena ia mengaku sebagai Nasution kepada pasukan Cakrabirawa.
Sehingga Pierre dibawa ke Lubang Buaya bersama tahanan lainnya.
Nasution juga pernah menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1966.
Sebagai ketua MPRS, ia menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno dan melantik Soeharto sebagai Presiden.
Kendati menjadi sosok yang melantik Soeharto, Nasution nyatanya menjadi salah satu tokoh oposisi selama masa rezim Orde Baru.
Pada 5 Mei 1980, Nasution bersama 49 tokoh lainnya meneken Petisi 50 yang berisi kritik atas pemerintahan Presiden Soeharto.
Keterlibatan Nasution dalam Petisi 50 lantas membuat hubungannya dengan Soeharto merenggang.
Nasution dan tokoh Petisi 50 lainnya dilarang ke luar negeri dan akses ekonomi mereka dibatasi.
Namun, seiring waktu berjalan, Soeharto mulai melonggarkan penegakan hukum terhadap tokoh Petisi 50.
Ia pun membuka pintu rekonsiliasi dengan Nasution.
Pada peringatan HUT ABRI tahun 1997, Nasution diberi pangkat kehormatan jenderal besar, seperti Soeharto dan Jenderal Soedirman.
Nasution wafat pada 6 September 2000 setelah menderita stroke dan koma.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Soeharto
Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 8 Juni 1921.
Ia putra dari Kertosudiro, seorang petani sekaligus asisten lurah dalam pengairan sawah desa.
Ibunya bernama Sukirah.
Saat beranjak dewasa, Soeharto sempat terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941.
Ia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Di dunia militer, Soeharto memulai karirnya dari pangkat sersan tentara KNIL.
Kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Pada 1 Maret 1949, Soeharto berhasil memimpin pasukannya merebut kembali Kota Yogyakarta dari Belanda dalam peristiwa yang kelak dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret itu.
Seiring waktu berjalan, Soeharto yang memiliki pangkat mayor jenderal ditunjuk menjadi Panglima Korra I Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), kini Caduad dikenal sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Korra I Caduad pimpinan Soeharto mendapat kepercayaan melaksanakan operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda.
Pada pertengahan Agustus 1962, dilakukan serbuan umum melawan penjajah Belanda dengan sasaran wilayah Biak, Jayapura. Korra 1/Caduad sendiri menurunkan 1 Divisi.
Hal itu menyebabkan pihak Belanda gentar, dan akhirnya mengeluarkan keputusan menyerah tanpa syarat.
Penyerahan Irian Barat ini ditandai dengan berkibarnya bendera Merah Putih pada 1 Maret 1963.
Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Keputusan Men/Pangab 19 Februari 1963, Korra I/Caduad dilebur menjadi Komando Strategis TNI Angkatan Darat atau Kostrad.
Soeharto tetap menjadi panglima satuan itu dan menjadi Pangkostrad pertama.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) membuat nama Soeharto melambung.
Ia langsung mengamankan situasi di Jakarta akibat para jenderal Angkatan Darat gugur dalam peristiwa itu.
Pada Maret 1966, ia pun menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Jusuf.
Dalam surat itu, Soeharto diberi mandat untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban di dalam negeri setelah peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.
Berbekal surat itu, Soeharto pun membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi di bawahnya pada 12 Maret 1966 dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno.
Namun hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi karena naskah aslinya tak pernah ditemukan.
Meskipun demikian, pasca-Supersemar popularitas Soeharto terus menanjak, sementara sebaliknya kekuasaan Presiden Soekarno mulai meredup.
Akhirnya, pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya.
Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS.
Soeharto resmi menjabat dan dilantik sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968.
Soeharto lantas menjabat selama presiden selama 32 tahun sebelum mundur pada 21 Mei 1998 menyusul masifnya gelombang demonstrasi yang diwarnai kerusuhan di sejumlah daerah.
Setelah lengser dari kursi presiden, Soeharto tercatat pernah beberapa kali bolak-balik masuk rumah sakit.
Ia mengembuskan napas terakhir pada 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, satu kompleks pemakaman dengan sang istri, Siti Hartinah atau Ibu Tien yang wafat pada April 1996. [nik]