WahanaNews.ID | Mengawali awal tahun 2023, kurs rupiah berhasil melibas dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Senin (02/01/2023), sejalan dengan penguatan mayoritas mata uang di Asia.
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah menguat cukup tajam 0,55% ke Rp 15.480/US$. Namun, rupiah memangkas penguatannya menjadi hanya 0,03% ke Rp 15.565/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Baca Juga:
Dolar AS Terus Menguat, Rupiah Tertekan ke Level Rp15.500
Penguatan Mata Uang Garuda salah satunya ditopang oleh melemahnya indeks dolar AS di pasar spot. Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS terkoreksi 0,03% ke posisi 103,49.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan angka inflasi yang di ukur dari Indeks Harga Konsumen (IHK) di sepanjang 2022 sebesar 5,51%.
Sementara itu, IHK pada bulan Desember mengalami inflasi sebesar 0,66% (month to month/mtm).
Baca Juga:
Ekspedisi Rupiah Berdaulat 2024: Eksplorasi Lima Pulau di Kalimantan Utara
"Terjadi inflasi sebesar 5,51%. Inflasi tahun ke tahun ini merupakan inflasi tahun kalender 2022," papar Kepala BPS Margo Yuwono, Senin (2/1/2023).
Inflasi tahunan ini, kata Margo, dipicu oleh tarif transportasi 15,26% dengan andil 1,84%. Kedua, inflasi terjadi pada makanan, minuman dan tembakau sebesar 5,83% dan andilnya 1,51%.
Angka inflasi tersebut lebih tinggi dari konsensus yang dikutip CNBC Indonesia di 5,39%.
Laju inflasi tersebut menjadi laju tertinggi sejak 2014. Pada 2014, angka inflasi menembus 8,36%.
Sementara itu, pada Minggu pagi waktu setempat (01/01/2023), Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva memberikan peringatan bahwa tahun ini akan menjadi tahun yang sulit karena AS, Eropa dan China akan mengalami aktivitas perekonomian yang melemah.
Ketiga negara tersebut merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi global. Sehingga jika perekonomiannya melemah, tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara lainnya.
Pada Oktober silam, IMF bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2023, menunjukkan hambatan yang terus berlanjut dari perang di Ukraina serta tekanan inflasi dan suku bunga tinggi.
Indeks dolar AS yang terkoreksi di pasar spot, membuka peluang penguatan mata uang di Asia. Mayoritas mata uang di Asia sukses menguat, di mana yuan China memimpin penguatan sebesar 0,94% terhadap dolar AS.
Kemudian, disusul oleh ringgit Malaysia dan rupee India terapresiasi masing-masing sebesar 0,45% da 0,18% di hadapan si greenback.
Namun, baht Thailand stagnan dan dolar Taiwan melemah 0,36% di hadapan dolar AS.[zbr]