Wahananews ID | PT Pertamina (Persero) diprediksi masih harus menanggung rugi hingga Rp 18 triliun per tahun meski harga jual BBM jenis Pertamax (RON 92) sudah naik dari Rp 9.000 per liter menjadi Rp 12.500 per liter.
Prediksi ini disampaikan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Dia berkata, kerugian masih diderita Pertamina karena harga jual Pertamax masih jauh dari harga keekonomian yang diklaim sebesar Rp 16.000 per liter.
Baca Juga:
Field Trip SMKN 1 Kota Sorong, SKK Migas-Pertamina EP Papua Dukung Pengembangan Pendidikan
"Harga keekonomian yang disebut pemerintah sekitar Rp 16.000 per liter, saat ini harganya Rp 12.500 per liter. Ada selisih harga sekitar Rp 3.500 per liter," kata Komaidi, mengutuip CNBC Indonesia, Minggu (3/4/2022).
Menurut Komaidi, saat ini konsumsi Pertamax per tahun ada di sekitar angka 6 - 7 juta kiloliter. Angka ini, jika dikalikan dengan Rp 3.500 sebagai selisih harga jual Pertamax dengan tingkat keekonomiannya, bisa mencapai Rp 21 triliun.
Apabila selisih harga nantinya turun menjadi Rp 3.000 per liter, kerugian yang kemungkinan diderita Pertamina masih tinggi atau ada di kisaran Rp 18 triliun per tahun. Angka ini didapat dari formula perhitungan seperti di atas.
Baca Juga:
BPKN Desak Pengawasan Ketat dan Tindakan Tegas terhadap SPBU Nakal
"Jadi kerugian itu untuk periode satu tahun. Meski begitu saya merasa penyesuaian harga jual Pertamax cukup moderat. Pertamina sebagai BUMN jelas harus disetujui pemerintah rencananya ketika ingin menyesuaikan harga jual Pertamax," kata Komaidi.
Ke depannya, Komaidi berharap harga keekonomian Pertamax bisa turun mendekati harga jual di dalam negeri. Penurunan tentu akan berdampak positif pada keuangan Pertamina.
Menurut Pertamina, penyesuaian harga dilakukan secara selektif, hanya berlaku untuk BBM nonsubsidi yang dikonsumsi masyarakat sebesar 17%, di mana 14% merupakan jumlah konsumsi Pertamax dan 3% jumlah konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Adapun, BBM Subsidi seperti Pertalite dan solar subsidi yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia sebesar 83%, tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp 7.650 per liter. [tum]