WahanaNews.ID | Pengacara Kondang Hotman Paris Hutapea selaku penasihat hukum mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Teddy Minahasa memprediksi jaksa penuntut umum bakal memberikan tuntutan berat kepada kliennya di kasus peredaran narkoba jenis sabu.
Hal itu disampaikan Hotman saat ditemui sebelum sidang tuntutan Teddy di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Kamis (30/3).
Baca Juga:
Polisi Ungkap Fauzan si Tukang Jagal di Muara Baru Sempat Kupas Jari Mayat Istri
Hotman menyampaikan analisanya berdasarkan pengalaman selama berprofesi menjadi pengacara. Dia bilang majelis hakim di tingkat pengadilan negeri cenderung mengikuti opini publik, terlebih dalam perkara narkoba.
"Jadi, biasanya selama ini analisa saya sudah berpuluh tahun sebagai pengacara, majelis hakim tingkat pengadilan negeri cenderung untuk mengikuti opini publik. Apalagi kalau perkara narkoba. Jadi kalau nanti ada tuntutan dari jaksa yang berat itu sudah kami prediksi sebelumnya," ujar Hotman.
Ia menyebut ada dua strategi pembelaan, yakni dari segi hukum acara atau hukum formal dan segi hukum materiil atau substansi perkara. Menurut Hotman, banyak kasus terdakwa bebas karena menang dari aspek hukum formal.
Baca Juga:
Pelaku Penyandera Bocah di Pospol Pejaten Mau Uang Tebusan dan Seorang Resedivis TPPO
Strategi serang hukum formal
Hotman menerangkan strategi pembelaan yang dia terapkan dalam perkara Teddy, yaitu dari segi hukum formal. Dia menilai, pelanggaran hukum acara dalam perkara ini sangat banyak.
"Sehingga saya menyerangnya itu dari aspek hukum formal. Contoh, roh kasus ini kan dituduh menukar narkoba dengan tawas," jelas Hotman.
Hotman menyinggung tidak ada saksi materiil yang diperiksa dalam perkara ini. Ia menyebut hal itu merupakan pelanggaran hukum acara dari segi Undang-undang.
"Pada saat pemusnahan semua saksi satu pun tidak diperiksa, seluruh polisi tidak ada pertanyaan satu pun mengenai apakah dia melihat ada penukaran sabu dengan tawas. Dari segi Undang-undang, itu pelanggaran hukum acara. Kenapa? Saksi materiil tidak diperiksa," sambung Hotman.
Lebih lanjut, Hotman menilai yang paling fatal adalah dari segi pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang hanya memiliki bukti chat atau percakapan di aplikasi pesan.
Hotman juga menyinggung keterangan ahli ITE yang mengatakan hal itu mesti diforensik dan tidak boleh dipenggal-penggal. Menurutnya, hal itu melanggar hukum perkara.
Ia kembali menegaskan perjalanan kasus ini masih panjang hingga tahap PK atau peninjauan kembali.
"Ini kan perkara bisa sampai Mahkamah Agung, masih ada PN, banding, kasasi, PK. Jadi masih panjang pertarungan ini. Jadi yang saya terapkan sekarang ini adalah mengenai bagaimana mencari kelemahan perkara dari hukum acara. Itu yang saya fokuskan," jelas Hotman.
Hotman mengatakan dalam perkara pidana maupun perdata, 20 hingga 30 persen perkara menang karena pendekatan aspek hukum acara.
Yakin bisa bebas
Hotman yakin kliennya dapat bebas apabila dilihat dari hukum acara.
"(Yakin Teddy bisa bebas) Kalau dari hukum acara, ya. Kalau dari hukum substansi, seperti saya bilang tadi, kita lihat di tingkat pengadilan negeri biasanya hakim tingkat pertama itu sangat kurang kuat menerima tekanan publik. Karena ini perkara narkoba," kata dia.
Ia menekankan bukan berarti dia mengatakan majelis hakim tidak objektif.
Namun, menurutnya hakim juga manusia. Hotman menilai opini publik sangat berpengaruh dalam sebuah perkara, terlebih dalam kasus narkoba.
"Jadi di tingkat pengadilan negeri itu paling sering terjadi. Makanya banyak kasus itu berubah di tingkat banding, kasasi, PK. Begitu lho. Jadi, strategi yang saya terapkan ini adalah strategi jangka panjang," tutur dia.
Ia kembali menekan bahwa pelanggaran hukum acara hukum formal berakibat dakwaan batal.
Hotman menyebut para ahli yang hadir di sidang pun menyatakan hal yang senada.
"Masalahnya, itu tadi, apakah hakim akan memprioritaskan hukum acara atau hukum substansi? Kalau menurut ketentuan, hukum acara adalah filter dari keadilan. Hukum acara tidak boleh dilanggar. Hukum materiil bisa ditafsirkan. Kalau hukum acara tidak boleh ditafsirkan," imbuhnya.
Sebelumnya, Teddy didakwa memperjualbelikan barang bukti sabu hasil sitaan Polres Bukittinggi sebanyak 5 kilogram (kg).
Tindak pidana itu turut melibatkan AKBP Dody Prawiranegara, Kompol Kasranto, Aiptu Janto P. Situmorang, Linda Pujiastuti alias Anita, Muhammad Nasir, dan Syamsul Maarif.
Mulanya, kasus ini terjadi ketika Polres Bukittinggi mengungkap peredaran narkoba dan menyita barang bukti jenis sabu seberat 41,387 Kg pada 14 Mei 2022.
Kala itu, Dody yang menjabat sebagai Kapolres Bukittinggi melaporkan kasus tersebut kepada Teddy yang menjabat sebagai Kapolda Sumatra Barat.
Teddy kemudian memerintahkan Dody untuk dibulatkan menjadi seberat 41,4 kg. Selain itu, Teddy juga meminta agar Dody menukar sabu itu sebanyak 10 kg.
Dalam perkara ini, Dody dituntut dengan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsider 6 bulan kurungan dalam perkara ini.
Sedangkan Linda dituntut dengan pidana 18 tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsider 6 bulan penjara.
Sementara itu, Kasranto dan Syamsul Ma'arif sama-sama dituntut pidana 17 tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsider 6 bulan penjara dalam kasus ini.[zbr/CNN]